apa itu islam

Berbakti Kepada Orangtua

۞ وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا ۚ إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا

Allah berfirman yang artinya, “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.”(Surah Al Israa 23)

Subhanallah perintah Birrul Walidain (berbakti kepada kedua orang tua) datang setelah perintah untuk mentauhidkan Allah yang menunjukkan amalan yang paling utama setelah Tauhid adalah berbakti kepada kedua orang tua. Dan sebesar-besar dosa besar setelah dosa syirik (menyekutukan Allah) adalah dosa durhaka kepada orang tua sebagaimana disebutkan oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam dalam sebuah haditsnya.
Banyak orang bijak yang bertutur bahwa diantara kunci-kunci kesuksesan dalam hidup seseorang adalah dengan berbakti kepada kedua orang tua.

Penulis pernah bertamu ke rumah teman di pinggiran kota Jeddah. Ada tetangganya datang bertamu, usianya sekitar 60 tahun. Dia bekerja sebagai karyawan di kantor seorang syaikh di kota Jeddah. Dia bercerita bahwa majikannya itu seorang yang kaya raya, sangat sibuk sekali dengan aktivitas dakwah, amal sosial dan bisnisnya. Beliau sangat dicintai oleh keluarganya dan masyarakat serta disegani oleh pemerintah.

Suatu hari  Ayah Syaikh yang tinggal di wilayah Al Qassem berjarak sekitar 1000 km dari Jeddah, ia telp ke anaknya dan minta dibelikan lima ekor kambing dari Jeddah dan dikirim ke Al Qassem. Syaikh menjawab, “Siap, insya Allah segera akan saya belikan lima ekor kambing dari Jeddah dan akan saya kirim ke Al Qassem”.

Karyawan Syaikh yang usianya lebih tua dari majikannya rupanya mendengarkan pembicaraan Syaikh dengan ayahnya. Karyawan itu berkata kepada Syaikh, “Kalau saya tidak salah dengar, Ayah Anda minta dibelikan lima ekor kambing dari Jeddah?”. Syaikh menjawab, “Ya benar”. Karyawan itu mengatakan, “Rupanya ini ujian untuk Anda wahai Syaikh, sesungguhnya kambing dari Al Qassem dagingnya jauh lebih lezat dibandingkan kambing dari Jeddah. Sebenarnya Anda bisa menawarkan untuk kirim uang saja lalu saudaramu di Al Qassem yang membeli kambing dari sana”.
Syaikh tidak menerima usulnya dan tetap akan membelikan lima ekor kambing dari Jeddah untuk Ayahnya. Mungkin jawaban Syaikh kepada karyawannya, “Tiap orang punya selera yang berbeda, bisa saja Ayah bosan dengan kambing dari Al Qassem dan ingin variasi memakan kambing dari Jeddah. Bisa jadi Ayah ingin menguji loyalitas Anaknya sejauh mana dia memperhatikan Ayahnya. Yang jelas saya ingin menggembirakan Ayah saya dengan memenuhi permintaannya selama itu bukan maksiat dan dosa”.

Setelah Syaikh membeli lima ekor kambing, segera Syaikh menyiapkan mobil dan mengajak anaknya yang berusia 18 tahun untuk menemani Ayahnya mengantarkan kambing-kambing ke rumah Kakeknya dengan jarak tempuh pulang pergi dua ribu (2000) km !!!

Tetangga teman saya menceritakan, “Saya berusaha mencegah Syaikh mengantarkan sendiri kambing-kambing itu. Saya berkata, “Wahai Syaikh, Anda adalah orang yang sangat sibuk sekali dengan masalah Ummat dan banyak pekerjaan yang mesti Anda selesaikan di Jeddah, mengapa tidak Anda suruh supir yang berangkat?”. Syaikh menjawab, “Tidak! Saya butuh doa dan ridha Ayah. Ridha Allah terdapat pada ridha orang tua. Saya ingin menjadi Anak yang berbakti kepada orang tua”.

Syaikh berangkat bersama anaknya mengantarkan lima ekor kambing ke rumah Ayahnya. Sesampainya disana, Syaikh serahkan kambing-kambing tersebut, mencium Ayahnya, duduk bercengkerama, makan bersama Ayah dan keluarganya, tidak lama Syaikh pamit kembali pulang ke Jeddah menempuh perjalanan panjang yang melelahkan untuk mendapatkan ridha dan doa Ayahnya. Masya Allah !!!

Bagaimana dengan kita ? Terkadang orang tua kita meminta kita menebus obat dan menyuruh agar tidak membeli obat dari Apotek yang dekat rumah tapi meminta agar kita menebus obat di Apotek lain yang jaraknya lebih jauh dari rumah kita. Taruhlah 10 km perbedaan jarak antara Apotek pertama dengan kedua, atau anggap saja 30 km! Orang tua punya pertimbangan bahwa Apotek dekat rumah kurang baik, bisa jadi menjual obat tiruan. Sedangkan kita sebagai anak yakin bahwa apotek pertama menjual obat Asli dan sama mutunya dengan Apotek kedua. Seringkali kita memaksakan pendapat kita dengan membeli obat di Apotek terdekat karena ingin praktis menghemat waktu meskipun beresiko membuat orang tua kita kecewa.

Ada seorang Ayah menyuruh anaknya pergi ke suatu kantor untuk menyelesaikan urusan Ayah jam 7 pagi. Si Anak menjawab, “Bagaimana kalau saya berangkat 45 menit lagi? Karena kantor tersebut baru buka jam 8 pagi?” Perjalanan menuju kantor tersebut kurang lebih lima belas menit. Ayah bersikeras bahwa kantor buka jam 7 pagi, jadi anaknya harus berangkat sekarang juga yaitu jam 7 pagi. Akhirnya si anak menurut dan berangkat, sesampainya di sana kurang lebih jam 07.10 kantor masih tutup, terpampang dalam pengumuman bahwa kantor dibuka jam 08.00. Si anak pulang dulu untuk menyelsaikan beberapa urusan lainnya dan ketika sampai di rumah menjelaskan kepada ayahnya bahwa kantor masih tutup dan baru buka jam 08.00, insya Allah jam 07.45 saya akan berangkat lagi ke kantor tersebut. Si anak tidak mengeluh dan tidak menampakkan kekecewaannya dan tidak ingin ayahnya malu  kepadanya. Ayahnya hanya menjawab, “Ya sudah, jam 8 nanti kamu ke sana lagi !”

Betapapun besar pengorbanan yang dirasakan anak untuk orang tuanya tidaklah sebanding dengan pengorbanan orang tua untuk anaknya. Semoga Allah menjadikan kita sebagai anak-anak yang berbakti kepada kedua orang tua dan menjadikan anak-anak kita sebagai anak-anak shalih dan shalihah yang berbakti kepada kita selaku  orang tua mereka, amin.

(Sumber: Buku Saku “Rumahku Surgaku” Oleh: Ustadz Fariq Gasim Anuz, Penerbit: Daun Publishing)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.